Sang Pemilik Cinta
Oleh : Putri Alvita
Malam
semakin larut. Hujan kian lebat. Lelaki paruh baya bersama seorang wanita di
rumah itu hanya duduk diam berhadapan di ruang tengah. Bertengkar hebat dalam
diam. Sinar putus asa terpancar dari mata keduanya. Raut wajah kekakuan. Petir menyambar. Gemuruh
bersahutan. Tapi tak membuat hati gentar. Ada masalah lain yang lebih penting.
Lebih menakutkan. Dan malam itu, semuanya harus selesai.
Ketika
itu aku hanyalah seorang anak lelaki berusia dua belas tahun. Papa sudah
menyuruhku masuk selesai makan malam yang kaku. Tapi karena penasaran, aku tetap berusaha mengintip dari balik dinding.
“Aku
tidak tahu cara untuk mengakhirinya. Tapi urusan kita sudah selesai malam ini.”
Suara papa memecah keheningan. Terdengar bergetar, namun tegas.
Mama mengangguk. Mereka tidak berbicara
banyak, tapi Mama mengerti. Perubahan sikap Papa sejak beberapa waktu lalu
sudah cukup untuk membuatnya mengerti. Semenjak Papa sering ke masjid.
Wanita
bermata sipit itu berdiri dari sofa. Matanya menatap lurus ke depan, tak nampak
gentar sedikit pun. Tapi mata sembabnya tak dapat berbohong. Ia sudah tahu ini
akan terjadi. Aku melihatnya menangis setiap malam beberapa minggu belakangan.
Kakinya
mulai melangkah meninggalkan rumah. Dan aku hanya dapat melihat punggungnya
yang semakin menjauh lewat jendela. Mama malam itu sendirian pergi menempuh
hujan lebat dengan payungnya. Dan tak pernah kembali lagi.
Aku
tidak mengerti. Kejadian itu sudah tiga tahun berlalu. Anehnya, Papa masih
bilang mencintai mama sampai sekarang. Mama cinta pertamanya. Kisah cinta orang
dewasa ternyata rumit sekali. Aku tidak mau seperti mereka. Lebih baik tidak
menjadi dewasa atau…, sama sekali tidak jatuh cinta.
❀❀❀
Di
satu hari dimana angin bertiup kencang, membuat daun-daun berguguran di
jalanan, aku berpapasan dengan seorang gadis berseragam sekolah yang berlari
menuju arah yang berlawanan denganku. Mata kami beradu, meski singkat, namun
rasanya seperti tersengat listrik berjuta volt. Dia tersenyum, dan senyuman itu
mampu meruntuhkan benteng-benteng pertahanan yang lama kubangun di dalam dada.
Aku merasa pernah melihatnya sebelumnya. Dan tentu saja aku masih ingat.
Sekarang dia sudah berjilbab. Cinta pertamaku, Salsabila.
Kami
satu kelas saat SD, dan perasaan itu muncul sejak aku mulai mengalami masa
pubertas. Sekitar kelas lima, dia menertawakan suaraku yang semakin besar.
Seperti suara drum katanya. Tapi aku tidak mengapa, meski sedikit malu
karenanya. Karena aku menyukainya. Ah, masa-masa dulu membuat tertawa ketika
mengingatnya.
Jantungku
serasa akan copot ketika tahu bahwa aku mendapat lotre bangku di sebelahnya.
Salsabila tampak tenang sekali. Hanya aku saja yang gugup, dan aku tidak bisa
membayangkan bagaimana rupa mukaku di hadapannya. Mungkin merah seperti
kepiting rebus.
“Kenichi?”
Leherku
patah-patah melihat ke arahnya. Saking gugupnya, aku hampir terjatuh dari
kursi.
Salsabila
tertawa geli melihat tingkahku. “Eh, kamu benar orang Jepang, ya? Pantas saja
nama dan wajah kamu mirip orang Jepang. Bisa bahasa Jepang?”
Aku
menggeleng. Segenap energi kukumpulkan. “Ehm.., se…sebenarnya hanya ibuku orang
Jepang. Aku lahir di sini.” Sulit sekali rasanya hanya mengatakan kata-kata
itu.
Kami
hanya bicara sedikit itu sampai akhirnya aku dan Papa harus pindah rumah. Dan
itu artinya juga pindah sekolah.
Aku
masih berjalan menyusuri jalanan trotoar yang sepi. Masih tidak yakin dia
orangnya, aku tidak seharusnya menghayal bertemu cinta pertama di saat suasana
sedang dramatis ini. Karena tentu saja, hidupku bukan drama korea.
“Kenichi!”
Aku menghentikan langkah. Sedikit merasa aneh, jarang sekali ada yang
memanggilku dengan nama itu. Memutar leher, menengok ke belakang. Gadis itu!
“Ternyata
benar kamu. Lama tidak ketemu, ya.”
“I..iya,
Salsa.” Sudah hampir tiga tahun, tapi saja aku masih kikuk.
“Oh,
iya. Jalan ke Smansa yang mana, ya? Bingung, kemarin sih sudah ke sana, tapi
sekarang lupa lagi.”
“Itu
sekolah saya, jalannya lewat sini.” Aku mengantarnya, sekaligus aku memang
sedang dalam perjalanan ke sekolah.
“Memangnya
ada urusan apa di sana?”
“Aku
dan keluarga pindah ke sini.”
“Pindah?”
Percakapan
kami hanya sebatas itu selama perjalanan. Mendengar Salsabila akan pindah ke
sekolahku rasanya aneh sekali, aku jadi sulit mengatur nafas. Astaga, kenapa jadi
begini?
❀❀❀
Takdirkah?
Salsa ternyata sekelas denganku. Aku semakin sering salah tingkah, meski senang
juga. Kami lebih sering berkomunikasi. Dia belum punya teman, mungkin karena
itu juga dia cuma berbicara denganku.
Kadang Salsa sering lupa jalan pulang, dan memintaku mengantarnya.
Sepanjang
perjalanan, Salsa tidak banyak bicara. Dia bukan tipe perempuan yang heboh
apalagi centil, yang mau tahu urusan laki-laki. Kali ini dia membawa buku,
berjalan sambil membaca. Judul buku itu seperti menyindirku, tapi dalam waktu
bersamaan merasa risih.
“Kalau
akan ada cinta kedua, ketiga, dan seterusnya, apa istimewanya cinta pertama?”
Tiba-tiba saja aku berkomentar dengan nada sinis seperti itu.
Salsa
menurunkan bukunya.
“Semua
orang seperti mengagungkan cinta pertama. Judul buku, cinta pertama, lomba
menulis cerpen, cinta pertama. Memangnya apa istimewanya cinta pertama? Toh,
rata-rata orang berjodoh bukan dengan cinta pertama mereka.”
“Cinta pertama itu selalu istimewa, Hanif
Kenichi. Ibu, pelabuhan cinta pertama seorang anak. Masalah jodoh, tidak ada
yang tahu, kita tidak bisa berpatokan kepada yang rata-rata.”
Langkah
kami semakin pelan. Bayang-bayang Mama terlintas di kepalaku. “Papa saya bilang, Mama adalah cinta pertamanya.”
Rasanya
aku sangat ingin sesekali bercerita. Bertahun-tahun memendamnya sendiri.
Untaian cerita-cerita berikutnya mengalir, tentang semua yang kualami selama
ini.
Salsa
menyimak.
Esok
hari dan seterusnya Salsa tidak meminta diantar lagi. Dia sudah tahu
kejahilanku yang mengantarnya lewat jalan-jalan yang berbeda setiap hari,
hingga membuatnya bingung dan merasa aneh dengan kemampuan ingatannya. Dia juga
sudah punya teman perempuan yang bisa mengantarnya dengan lebih jujur. Tak
mengapa, itu memang salahku.
Tapi
hari ini, aku ingin menemaninya pulang. Awalnya dia menolak, katanya dia tidak
ingin berdua bersama laki-laki tanpa tujuan. Tapi aku meyakinkannya, bilang aku
cuma ingin mengantarnya pulang. Salsa akhirnya setuju, melihat jalanan yang
masih ramai.
Selama
perjalanan, hanya hentakan telapak sepatu kami yang terdengar. Hingga kami
sampai di sebuah jalan yang merupakan tempat pertama aku menemukannya kembali.
Suasana tidak sedramatis dulu, cahaya matahari menyengat, tidak ada dedaunan
pohon yang jatuh, jalan ramai, dan udara panas.
Aku
mengehentikan langkah, menatap mata Salsa dengan tatapan yang dalam. Merasa ada
keanehan dalam tatapanku, Salsa lekas menundukkan pandangan. Memegang tali tas
punggungnya kuat-kuat.
Suasana
santai tadi berubah semakin serius.
“Kamu
cinta pertama saya, Sal. Meski saya
tidak tahu akan ada cinta selanjutnya atau tidak.”
Salsabila
hanya diam, menunduk semakin dalam.
“Cuma sama kamu saya bisa cerita. Cuma kamu
yang mau mendengarkan. Tapi kalau kamu pergi juga…,” Aku menahan nafas,
mendesah.
Salsa
menggigit bibir, akhirnya mau mengangkat kepala menatapku. “Aku nggak akan
pergi, Hanif. Tapi hubungan antara lelaki dan perempuan ya memang harus sebatas
ini. Kita bisa jadi teman, kamu bisa terus cerita tanpa canggung.”
Itu penolakan secara halus.
“Tetap
saja itu hal yang berbeda.” Aku mengalihkan pandangan pada jalan yang ramai.
“Hanif,
kamu nekat sekali nembak muslimah berhijab.” Salsa mengatur nafas. “Cuma ayah
kamu yang muslim, Han. Di identitas kamu, ya memang juga tertulis begitu. Tapi
aku masih belum tahu kamu yang sebenarnya.”
“Kamu
ragu karena itu?”
Salsabila
menggeleng. “Itu cuma alasan pendukung, Han. Aku memang belum ingin pacaran
dulu.”
“Sama
saya?”
“Sama
siapapun. Agama saya melarangnya, dan aku yakin itu untuk kebaikanku.”
“Agama
kamu? Saya Islam, Sal.”
“Kalau
begitu, saya mau bukti, kita bertemu bulan depan. Di jalan ini, di waktu yang
sama. Tapi syaratnya, kamu harus sudah benar-benar Islam. Maksudku, kamu
pelajari dengan baik hukum-hukum agama Islam. Setelah itu, kita bertemu di
sini. Saya pastikan, jawaban saya adalah ‘iya.”
“Kamu
yakin? Walau ternyata saya tidak benar-benar memenuhi syarat?”
Salsa
cuma tersenyum dan menyerahkan sebuah buku sebelum berlalu pergi. Punggung
Salsa menjauh, aku membuka buku yang diberikannya. Itu buku yang sering
dibacanya setiap di jalan pulang sekolah. Cinta pertama?
“Hanif…,” Suara Papa langsung memanggil ketika
aku baru saja masuk ke dalam rumah, menutup pintu. Menghampiri Papa yang tengah
duduk di ruang tengah.
“Kamu
mau bertemu mama kamu?” tanya Papa tanpa melhat ke arahku.
Pertanyaan
itu beku seperti es. Sudah bertahun-tahun lamanya Papa tidak pernah menyinggung
tentang Mama. Mama sudah kembali ke negara asalnya, dan kami pindah rumah untuk
menghilangkan jejak darinya.
Hanya
suara detakan jarum jam yang terdengar. Menunggu jawabanku.
“Saya
bingung, Pa,” aku bergumam pelan. “Bertahun-tahun saya menyimpan pertanyaan
ini. Saya tahu, dulu saya cuma anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Tapi saya masih ingat, waktu papa berubah.
Papa berubah semenjak sering ke masjid!”
Papa menatapku. “Agama saya melarang
menikah dengan wanita yang berbeda agama.”
“Saya
bingung, Pa, benar-benar bingung.
Bukankah Tuhan yang menciptakan rasa cinta itu? Tapi kenapa karena Dia
seseorang harus berpisah, anak berpisah dari ibunya, dan mereka yang saling
mencintai tidak boleh bersatu.”
“Kamu
akan mengerti. Kalau kamu menjadikan Allah sebagai pemilik cinta, maka cinta
lainnya harus kau korbankan. Cinta itu ibarat batu loncatan untuk keimanan yang
lebih tinggi, tapi ingat karenanya kau juga bisa tersandung."
"Kalau kamu menjadikan Allah sebagai pemilik cinta, maka cinta lainnya harus kau korbankan. Cinta itu ibarat batu loncatan untuk keimanan yang lebih tinggi, tapi ingat, karenanya kau juga bisa tersandung."
Aku
masih tidak mengerti. Melangkah gusar menuju kamar.
“Berangkatlah!
Temui mamamu!”
Aku
segera menghempaskan pintu. Untuk apa aku menemuinya? Bukankah dia yang pergi?
Lagi pula, aku punya jadwal penting minggu depan bersama Salsa.
“Salsabila?”
aku teringat wajah gadis itu. Disaat sedang frustasi, membaca selalu membuatku tenang.
Mungkin buku yang diberikan Salsabila tadi cocok untuk saat ini. Cinta pertama.
❀❀❀
Salsabila
sampai di jalan yang mereka tentukan minggu kemarin. Sejujurnya, dia merasa
nekat sekali bertaruh begitu pada Hanif. Bagaimana kalau lelaki itu benar-benar
menembaknya? Sementara dia sedang benar-benar ingin fokus beribadah dan
belajar. Pacaran hanya akan membuatnya gagal fokus, dan buang-buang waktu
karena hubungan seperti itu sama sekali tidak ada manfaatnya.
Padahal
Salsa sudah datang agak terlambat, tapi Hanif belum juga datang. Apa dia sudah
pergi? Mata gadis itu menangkap sebuah buku di tengah jalan. Bukankah itu
bukunya? Salsa mengambilnya, dan mendapatkan sebuah kertas jatuh dari sana.
Sepertinya sebuah surat.
Assalamu’alaikum, Salsabila.
Terimakasih. Berkat kamu saya menemukan cinta pertama
saya. Bukan, bukan kamu. Tapi ibu saya. Lewat buku yang kamu pinjamkan, saya
tahu. Lewat pertemuan kita yang singkat, saya belajar banyak hal. Dan karena
kamu, saya memutuskan untuk tidak memilih kamu. Saya pergi menemui ibu saya
hari ini.
Pertanyaan saya.
Apakah kamu mau untuk tidak jadi pacar saya? Saya rasa, hubungan tanpa
ikatan pacaran lebih nyaman dan tidak merugikan. Kita maih teman, kan?
Hanif
Kenichi
Salsabila tersenyum dan mengangguk.
‘Iya.”
✨
Cerpen
di atas sudah diterbitkan dalam buku kumpulan cerpen “Teruntuk Engkau” hasil
lomba yang diadakan oleh penerbit Pustaka Tunggal bertema Cinta Pertama yang diselenggarakan 30 Maret - 28 April 2017.
IG : putri.alvita
Megutip seluruh/sebagian artikel/tulisan dari blog ini dibolehkan dengan syarat tetap mencantumkan link sumber, http://putriall.blogspot.com